Domain yg Anda cari

bioavailabilitas parasetamol

>> Sabtu, April 25, 2009

Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satu tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang terpenting untuk keefektifan obat tersebut. Pegkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi umum serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut. Dalam menaksir ketersediaan hayati ada tiga parameter yang biasanya diukur yang an profil konsentrasi dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan (Abdou, 1989).
Konsentrasi puncak (Cmax), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis, volume distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah. Konsentrasi puncak sering kali dikaitkan dengan intensitas respon biologis dan harus di atas MEC dan tidak melebihi MTC.
Waktu untuk konsentrasi puncak (tmax) menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk mencapai konsentrasi puncak dari obat sirkulasi sistemik. Parameter ini tergantung pada konstanta absorbs yang menggambarkan permulaan dari level puncak dari respon biologis dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk laju absorbsi.
Luas daerah di bawah kurva (AUC), merupakan total area di bawah kurva konsentrasi vs waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada dalam sirkulasi sistemik. Bila membandingkan suatu formulasi untuk acuan, parameter ini menggambarkan jumlah ketersediaan hayati dan biasa digunakan sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi. Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannya tidak perlu diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah, yaitu:
1. Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita, dengan mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena interaksi obat maupun karena fungsi fisiolagi.
2. Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian biofarmasetika dan berkaitan dengan penyesuaian pada kurva profil kadar zat aktif dalam darah penderita dan efek yang diteliti.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1. Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2. Kecapatan obat yang diabsorbsi.
3. Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
Metode penilaian ketersediaan hayati
Penelitian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa metode:
a. Metode dengan menggunakan data darah
b. Data urin
c. Data efek farmakologis
d. Data respon klinis
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiat telah diketahui cara dann validitasnya. Jika cara dan validitasnya belum diketahui dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif, seperti efek pada kecepata denyut jantung atau tekanan darah yang dapat digunakan sebagai indeks ketersediaan hayati obat. Untuk evaluasi ketersediaan hayati menggunakan data respon klinis dapat mengalami perbedaan antar individu akibat farkokinetika dan farmakodinamik obat yang berbeda. Factor farmakodinamik yang berpengaruh meliputi: umur, toleransi obat, interaksi obat dan factor-faktor patofisiologik yang tidak diketahui.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati oabat yang digunakan secara oral:
Sifat fisikokimia zat aktif.
i. Bentuk isomer; alkaloid-alkaloid dan steroid-steroid terdapat dalam bentuk isomer, seperti misalnya isomer d atau l. seringkali yang aktif atau diaktif hanya salah satu saja, misalnya d-etambutol, d-propoksipen, d-amfetamin, l-kloramfenikol.
ii. Polimorfisme; bentuk kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan kemudian cepat terabsorbsi daripada bentuk kristalnya yang stabil, misak kloramfenikol mempunyai 2 bentuk polimorf A dan B; kristal bentuk A bersifat tidak aktif.
iii. Ukuran partikel; bila ukuran partikel lebih kecil maka luas permukaan akan besar sehingga obat – obat akan cepat melarut dan diabsorbsi.
iv. Hidrat dan solvate; kadang – kadang beberapa bahan obat cenderung untuk mengikat beberapa molekul pelarut. Ikatan ini disebut solvate, dan kalau pelarutnya adalah air maka ikatan ini disebut hidrat. Ampisilin anhidrat lebih mudah larut dibandingkan ampisilin trihidrat, sehingga pemakaian peroral akan memberiakan blood level yang tinggi.
v. Bentuk garam, ester dan lainnya; gugusan estolat dari eritromisin estolat dapat menyebabkan hepatotoksisitas, sedangkan stearatnya tidak. Tapi sifat fisik eritromisin mempersulit pengisian dalam jumlah yang cukup ke dalam kapsul yang berukuran wajar. Pemadatan yang tidak tepat atas bahan baku ini sebaliknya dapat menimbulkan persoalan disolusi dan ketersediaan hayati.
vi. Kemurnian; bahan baku penisilin yang tidak murni bias mengandung mikrokontaminan berupa hasil degradasi penisilin sendiri bahkan inferior ini yang dapat menyebabkan alergi. Namun meskipun telah menggunakan bahan – bahan baku murni jika cara dan kondisi produksi dalam hal ini kebersihan,temperature, dan kelembapan kurang baik, bahan penisilin akan menimbulkan efek samping yang sama.
Bahan – bahan pembantu; banyak obat – obatan dimana pengaruh bahan – bahan pembantu dapat merubah secara drastic pola absorbsinya dan oleh karena itu efek terapi dan toksisitasnya juga berpengaruh, seperti meningkatnya toksisitas fenitoin setelah bahan pembantu yang semula dipakai CaSO4 diganti dengan laktosa.
Cara – cara prosesing
i. Formulasi obat yang sudah baik dalam suatu pabrik bisa sama sekali berubah bila dibuat oleh pabrik lain dengan menggunakan alat – alat yang berbeda. Hal ini menjadi masalah kritis apabila digunakan untuk memproduksi tablet – tablet dengan kadar zat khasiat yang rendah seperti digoksin 0,25 mg/tablet 200 mg.
ii. Ruangan dan kondisi – kondisinya ( temperature, kelembaban, penerangan, dan sebagainya ) yang memenuhi syarat. Misalnya pada pembuatan sediaan tetrasiklin yang merupakan bahan baku yang kurang stabil pada kondisi tertentu sehingga dapat mengakibatkan penguraian tetrasiklin menjadi nonaktif, hepatotoksik, dan nefrotoksik.
iii. Tenaga – tenaga yang kompeten.
iv. Dikerjakan dengan system produksi dan system control yang baik. Dalam hal ini persyaratan – persyaratan Good Manufacturing Practices ( GMP ) menjadi penting.

window.google_render_ad();

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP